Anda pernah dikenali tapi bukan dengan identitas diri anda sendiri? Misalnya saja dengan identitas keluarga, kelompok atau organisasi, sekolah, tahun angkatan di kampus, atau apalah yang anda adalah atau pernah menjadi bagian dari hal itu sehingga identitas non-diri-pribadi tersebut bisa melekat pada diri anda.
Misalnya saja pertanyaan sejenis ini, “Ooh… rupanya ini anaknya Pak Budi ya? Pantesan mirip. Ayah kamu itu temen kuliah saya lho, dan blablabla… Ayah kamu itu suka blablabla, kamu juga ?”
atau, “Kamu cucunya Pak Hasan ya? Saya sempat sama-sama beliau masa jaman Belanda dulu lho. Kakek kamu itu blablabla…”. Pernah? Saya pernah.
Ataupun contoh yang sering terjadi seperti misalnya kita dikenali melalui asal SMU, berdasarkan tahun angkatan masuk kuliah, organisasi yang diikuti dan sebagainya. Yah… sedikit banyaknya terkadang identitas kolektif seperti ini memang punya pengaruh terhadap diri kita.
Dalam lingkup yang lebih luas misalnya, identitas kebangsaan. Secara tidak langsung dan tidak dapat terelakkan kita tentu saja akan dikait-kaitkan dengan identitas itu. Terkadang ada stereotip yang perlu dijelaskan karena keadaan sebenarnya tidaklah begitu adanya, misalnya. Ada yang terkadang cuma termakan hoax dan hal-hal kaya gini tentu perlu diluruskan. Ataupun sikap sosial mainstream yang terkadang malah bertolak belakang dengan sikap sosial pribadi kita, saya memilih untuk menjelaskannya, sejauh yang saya tahu tentunya. Saya kira hal ini penting karena terkadang kesimpulan yang diambil bisa berakhir pada imej bentukan yang salah kaprah.
Terkait dengan sikap pribadi ini, dulu saya pernah punya pengalaman lucu pada saat tour kampus ke Little World di Nagoya. Dari namanya, ini memang `dunia` yang isinya negara-negara yang ada di dunia (tentu tidak semuanya). Setelah kunjungan ke beberapa negara, tibalah saya dan beberapa teman lainnya di `Indonesia`. Kebetulan yang jadi miniatur negara Indonesia adalah Bali, lengkap dengan candi dan gapuranya yang cantik, serta gambar-gambar yang menampilkan kebudayaan dan gaya hidup sehari-hari. Bisa ditebak apa reaksi teman-teman saya?
“Kok gak ada mirip-miripnya yasama kamu?” Mereka bertanya dengan polos dan keheranan. Saya faham dengan maksud mereka dan sejak awal di pintu masuk rada ada firasat bakal ditanya kaya begitu. Beruntung sekali di bagian sudut lain ‘Indonesia’ ini ada beberapa poster yang menampilkan kebudayaan beberapa provinsi di Indonesia, saya berusaha menjelaskan, bahwa setiap daerah ini punya keragaman budaya dan kekhasannya masing-masing, bahkan juga bahasa daerahnya yang berbeda di tiap daerah. Ada rasa bangga saat itu dan begitu bersyukur. Apalagi saat mereka bilang, “Hebat ya, ternyata ada banyak macam begitu…”. Saya lega rasanya.
Di lain waktu, hal lain yang sering ditanya kalau sudah ngobrol-ngobrol di asrama adalah keadaan di negara masing-masing. Kebiasaan remaja dan anak muda pada umumnya, gaya hidup, budaya belajar, pergaulan, kegiatan volunteer oleh remaja, dan hal-hal lainnya. Gara-gara ini saya jadi sering bilang, saya kurang tepat kalau dijadikan parameter bagaimana anak Indonesia pada umumnya. “Saya tidak cukup syarat untuk jadi representasi anak muda di negara saya”. Eh, rupanya statemen seperti ini akhirnya mewabah karena ternyata semuanya juga enggak PEDE merasa bahwa dirinya bukan representasi remaja dan anak muda pada umumnya di negara mereka. Siapa sangka semua pada setuju? 😆
Misalnya seorang teman dari Amerika yang disebut oleh beberapa mahasiswa dari China, bahwa dia bukan tipikal gadis Amerika pada umumnya. Gadis ini tidak suka pesta, tidak mau minum dan mabuk, rajin ke gereja, rajin banget belajarnya, sopan dan agak serius. Contoh remaja Amerika yang unik kan. Atau yang dari Polandia, mahasiswi Bio-Technology ini katanya jauh dari kesan romantis cewek Eropa seumuran dia pada umumnya, disamping tegas, sering panik, pelupa dan dikabarkan kami memiliki kemiripan dalam hal terakhir itu. Akhirnya keduanya malah ikutan bilang hal yang sama, “Kami jangan dianggap representasi dari remaja seusia kami dari negara kami, karena banyak `penyimpangan`…” 😆
Walaupun begitu, rupanya memang terlihat bahwa kita tidak bisa langsung `melepaskan diri` dari identitas kolektif yang tanpa sengaja atau tidak, melekat pada diri kita. Jelek? Tidak kok, malah menurut saya, kita memang perlu kok punya identitas kolektif disamping identitas pribadi diri kita. Disamping tentu saja ada beberapa pengecualian, seperti misalnya, jika ada sikap kolektif yang menurut kita tidak layak atau bertentangan dengan sikap pribadi kita, dan saat kita juga diasosiasikan dengan sikap yang sama, kita tentu saja boleh tidak terima dan melakukan klarifikasi. Mengenai hal ini, seseorang telah menjelaskannya dengan cukup baik disini. 🙂
Bagaimana dengan identitas kolektif yang membanggakan?
Jika kita berbicara tentang identitas kebangsaan, maka salah satu tanda pengenalnya tentu bahasa. Ada bangsa yang `diberkahi` karena bahasa nasional mereka juga dipelajari dan digunakan oleh banyak bangsa di dunia, bahkan penguasaannya pada level tertentu menjadi syarat melamar pekerjaan dan melanjutkan sekolah. You know who they are. 🙂
Lagi-lagi cerita kalau ngumpul-ngumpul saat senggang di lobi asrama. Biasanya beberapa mahasiswa mahasiswi asal China bermain kartu, anak-anak yang lain sekedar nonton mereka main atau memilih main game, nonton, atau berdiskusi kecil tentang agama. Sering banget diskusi seperti ini kemudian melebar, alot, panas, bahkan pernah hampir ribut. Biasa, topik sensitif.
Saat-saat santai begitu, pada umumnya menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Jepang atau sesekali kami juga saling mengajarkan potongan-potongan kata dan kalimat yang mudah diingat dari bahasa masing-masing. Terkadang jika ada lebih dari satu orang yang senegara, hampir dipastikan mereka akan menggunakan bahasa mereka sendiri. Saat momen seperti ini sedang berlangsung, teman yang dari Amerika suka protes. “Use English… please… In English please…” Kadang dengan ekspresi merengek atau mengusili pembicaraan atau permainan. Kadang dijawab, “Sebentar dulu, gak enak berantem atau ngeledek pake bahasa Inggris nih…”. Yang mau tidak mau mengundang gelak tawa kami. Atau kali lain, gadis ini nyeletuk, “Gak adil nih, kalian bisa ngomong sesuatu yang saya tidak paham, tapi kalian semua bisa paham apa yang saya bilang…”
Jawaban standar anak-anak yang sudah sangat populer saat itu, “Ubahlah bahasa nasionalmu, Nak… jangan bahasa Inggris”.
Saya pernah iseng tanya pada gadis itu bagaimana perasaannya saat bahasa nasionalnya dipakai oleh hampir semua bangsa di dunia, bahkan dipelajari dan dijadikan standar kurikulum pendidikan di hampir beberapa negara. Dia tersenyum lucu…”Senang dan… bangga, hehehe…”. Iya ya, tentu saja menyenangkan dan membanggakan saat identitas kolektif (dalam hal ini bahasa) kita dikenal dengan imej positif dan sekaligus dipelajari dan diikuti oleh bangsa lain. Saya kok ya penasaran bagaimana rasanya jenis perasaan `senang` dan `bangga` itu?
Suatu kali saya diundang menghadiri acara seminar yang diadakan di Nagoya University. Temanya konon, Student Discussion on Tsunami Disaster Experiences. Salah satu agenda diskusi ini diantaranya adalah presentasi dari beberapa mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Jepang. Ada tiga orang mahasiswi dari Indonesia yang diundang melakukan presentasi, tentang bagaimana pengalaman mereka saat Tsunami dan kegiatan sebagai relawan yang mereka lakukan di masa kritis pasca tsunami saat itu. Seorang mahasiswi Master dari ITB yang menceritakan tentang pengalaman beliau saat gempa dan tsunami di Pangandaran pada 2006 lalu, dan dua mahasiswi lagi dari Unsyiah yang menjelaskan pengalaman mereka saat Tsunami di Aceh dan peran mahasiswa dalam bidang keilmuwan dan peran mereka di masyarakat sesudah musibah itu. Dilanjutkan dengan presentasi dari pihak OGASA, suatu organisasi kemanusiaan peduli bencana di Aceh yang dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Jepang dari Osaka University. Pihak OGASA diwakili oleh ketua dan tiga orang anggotanya.
Hal menarik yang ingin saya ceritakan kemudian adalah saat acara pembukaan diskusi ini, saat seluruh peserta dipersilahkan memperkenalkan diri. Audiens-nya adalah Bapak-Bapak mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia yang sedang melanjutkan sekolah di sana, Para Sensei dan Researcher-staff dari Lab. Geofisika disana, mahasiwa Jepang dan para staf JICA dari Filiphina, Papua Nugini dan Costarika yang konon sebagai reviewer.
Tiba saat masing-masing memperkenalkan diri, tentu saja semua menggunakan bahasa Inggris, dan ada juga mahasiswa Indonesia yang sudah lama tinggal di sana yang menggunakan Japanese-English. Ketika giliran pihak OGASA memperkenalkan diri, dimulai dari sang ketuanya. Tebak! Ia berbicara dalam bahasa Indonesia yang lancar. Hueh… 😯
Saya terpesona beberapa saat. (halaah). Dan… bahasa Indonesia-nya sopan banget, teratur. Lalu diikuti rekan-rekannya yang lain. Keren! Ups, mungkin saya agak berlebihan, soalnya ini forum internasional gitu lho, dan mereka di awalnya dengan bangga bilang begini, ” Baiklah, saya akan memperkenalkan diri dalam bahasa Indonesia…”. Diakhir salam perkenalan mereka dihujani tepuk tangan oleh semua. 🙂 Presentasi mereka pun kadang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia. Setelah acara selesai, sepanjang coffee-break, berpuas-puaslah kami berbicara dalam bahasa Indonesia dengan mereka dan juga saat berkirim email. Tanya punya tanya, ternyata diantara mereka ada yang sudah tahun kedua kuliah di jurusan sastra Bahasa Indonesia di universitasnya. Pantes juga sih ya. Whatever, saat itu saya langsung disergap rasa senang dan… bangga aneh, hehehe… Mungkin perasaan jenis ini yang dimaksud teman saya dari Amerika itu ya? Besar kemungkinan iya, walaupun mungkin kadarnya tidak sama.
Ternyata begitu ya, ada saat-saat kita merasa bangga, ketika salah satu simbol dari identitas kolektif kita diikuti dan diapresiasi oleh bangsa lain dan… perasaan itu menyenangkan walau agak sulit dijelaskan. 🙂