Feeds:
Pos
Komentar

Terpaku Beku

aku hanya laki-laki pada umumnya yang jatuh lumpuh di sajakmu lalu siapa yang mengubah 1 menit jadi bait lagu? Kau kah?

Aku beku sempurna pada baris kata itu, terpaku. Tajam menembus urat saraf tak tampak, sakit yang tak teraba menjalar secepat kilat. Tepat saat mata menumpu pada ujung tanda tanya di akhir kalimat itu.

Mendadak aku ingin tahu ada berapa laki-laki di dunia ini yang bisa mengaku dengan pengakuan indah begitu. hohoho *evil smile*
Mendadak juga aku ingin tahu ada berapa perempuan di dunia yang terpaku beku ketika tahu potongan  kalimat itu adalah untuknya.

 

ps :

Keren sekali bukan? Oh, tentu saja.
Bukan buatan saya sih, jelas, saya kan bukan laki-laki, huhuhu. Itu sih, hasil blogwalking ke blog rekomendasi seseorang. Bagus banget blognya. Blognya Ocha (yahaha, sok akrab sekali kamu, nak!)


Ramadhan ke-4 1433 H,  
(menghadap layar di kamar yang lama, di rumah, asing tapi nyata begitu bersahabat, mengirimkan tiap potong kenangan masa lalu yang berkelebat satu-satu, menjadi teman dalam lirih dan bisunya waktu yang bergulir

Di dunia ini, sememangnya akan ada orang-orang yang diberkahi dengan kebaikan hati dan kesempurnaan yang ‘hampir’ di sana sini itu, dan ini sangat potensial memicu hati orang salah paham tanpa membutuhkan usaha yang berarti darinya, atau lebih parah lagi, dia atau mereka yang masuk golongan ini bahkan tidak tahu apa-apa.  (Juni 2012)

Lihat, jika tanpa melakukan apa-apa saja mereka sudah bisa membuat orang lain salah paham, bagaimana jika memang mereka melakukan hal-hal menjurus yang sangat rentan itu? Siapa yang mau bertanggung jawab pada sebuah keadaan akhir itu? Haha. Sepertinya jangan terlalu berbesar hati dan menumpuk harapan akan ada orang baik yang akan datang menolong memberikan bantuan yang memang diharapkan. Sulit! Karena sudah ada tipe bantuan yang kita inginkan, dan terkadang kita sendiri sudah menutup diri pada kemungkinan bantuan jenis lain, kan? Walaupun bisa saja bantuan ini terdengar lebih memungkinkan dalam mengurangi kemudaratan yang terlanjur sudah terjadi. Ah, manusia.

Sungguh memang ada kejadian yang terjadi di dunia nyata sehingga muncullah kata-kata model begitu di atas sana. Sungguh memang telah terjadi kekacauan yang belum selesai dibereskan hingga saat ini. Buntu juga kadang kalau terlalu difikirkan. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terjadi. Mau disesali? Sebenarnya terlalu rugi juga, tidak menghasilkan apapun dan jelas tidak bisa membalikkan waktu untuk mencegahnya agar tidak terjadi. Paling tidak untuk sekarang bagaimana caranya agar sedikit menolong keadaan dengan tidak terlalu memperburuknya. To soothe the pain? Who might help? You better ask yourself, my dear! haha

Saya juga sedang mengasihani diri saya sendiri mengapa jadinya seperti ini. Hal-hal yang disadari begitu terlambat, yang mungkin bahkan waktu untuk memperbaikinya hampir pasti tidak ada lagi kecuali saya mau nekad dan mengorbankan apa yang ada. Tapi kata orang, untuk kebahagiaan yang mungkin sejatinya memang akan buat saya, kenapa tidak. Tentu saja kalau memang akan benar begitu, saya akan dengan bersuka cita bergegas melakukannya, tapi bagaimana jika tidak? Ternyata kadang plin-plan dan takut berkorban itu tipis sekali batasannya?

Kali ini saya juga belajar terlalu banyak. Entah semua itu bisa saya serap dengan baik dan tidak melakukan kesalahan, karena semua terasa mendadak penuh dan menggembung. Saya juga belajar tentang hal yang tidak pernah selesai ditamatkan para manusia, tentang ketulusan. Saya belajar banyak.

Terasa sekali carut marut entry ini, nyaris seperti potongan puzzle yang terlempar ke sana kemari mencari pola susunannya. See? Saya pun malas mengurutnya satu persatu. Biar begini saja dulu. Semuanya butuh waktu, apalagi saya. Kali ini seperti hampir habis tenaga hati dan fikiran saya (owh, hampir ya?? ) cuma  gara-gara hal seperti ini. Tapi bukankah pada setiap hujan akhirnya akan berujung pada sebuah reda? Dan saya sedang menunggu hujan itu berhenti. Semoga segera dan tak lama lagi…

Arti Kesedihan Itu

Definisikan padaku arti kesedihan itu yang sesungguhnya.

Kau tahu apa? Hanya aku yang menyimpan dan mendekapnya dalam-dalam. Membawanya berlari dan berjalan dalam gagap yang seperti tak berkesudahan.

Mungkin pekik pada langit yang riuh itu kadang tak juga sanggup meredam.

Mengapa bisa?

Tanyakan saja pada karat hati.

Well, lama tak menulis lagi, saya malah merasa mati gaya untuk nge post. Kebetulan saya menemukan file ini yang sudah berwujud sejak beberapa waktu lalu, bisa dikatakan sudah agak lama lah. Mungkin potongan kata-kata yang mencerminkan galau begitu turut menjadi representasi dari kegalauan saat menuliskannya. Sebenarnya apa ya yang terjadi pada saya saat itu. Mencoba mengingat-ngingat tapi tetap saja belum sempurna ingatan itu kembali. Jadi biar sedemikian rupa saja dulu, semoga potongan puzzle yang lain menyusul untuk melengkapi ingatan tentang apa yang terjadi saat itu. *halaah*

That Inside Thing

Untuk slogan yang sering digadang-gadang banyak orang tentang “memaafkan tanpa melupakan” atau “memaafkan berarti melupakannya sekaligus”, keduanya seperti frase tak berasa buat saya. Paling gak untuk saat ini. Entahlah, mungkin terdengar seperti curcol? biar saja lah kalau begitu.

Kalau diingat-ingat, saya agaknya bukan tipe orang yang pendendam atau yang sulit memaafkan. Tapi entah juga, ada kejadian yang membuat saya tak bisa lupa, menjadikan saya lebih banyak belajar, lebih berhati-hati, yang bermuara pada berkurangnya intensitas interaksi. Ketika diperhatikan, sebenarnya bukan disengaja untuk diperlakukan sedemikian rupa, namun terjadi begitu saja. Ketika disadari, ternyata sudah berlaku begitu.

Benar sekali jika ada yang bilang, kalau berkenaan dengan perkara hati, konflik perasaan, akan sulit menimbang-nimbang dengan batasan yang jelas. Ketika kondisi hati sedang pas, kompak dengan fikiran, semua bisa dilihat dengan objektif dan lapang. Sekali waktu kondisinya tidak begitu, terasa sekali ada hal-hal yang pada state tertentu mulai menimbulkan gonjang ganjing tak jelas, rasa enak tak enak dan hal-hal semacam itu lah. 🙂

Untuk sebuah kejadian beberapa waktu lalu yang jika suatu waktu kembali terlintas di pikiran, saya menganggap dan meyakin-yakinkan diri saya bahwa semua sudah selesai dengan baik. Tak ada yang perlu dirisaukan lagi. Tentang hal-hal seperti komunikasi atau interaksi yang tidak bisa kembali seperti dulu-dulu lagi, saya mencoba menerimanya dengan begitu adanya. Saya tidak mau lagi terlibat emosi dengan hal-hal yang membuat saya tidak nyaman tiap kali teringat kejadian ini. Sampai hari ini pun dibilang paham dengan apa yang terjadi, saya sendiri meragukannya. Dibilang tak paham, beberapa topik yang memicu hal ini terjadi sangat jelas merusak batas kenyamanan saya. Hingga kemudian, saya pun menasehati diri untuk tidak terlalu memikirkannya, bahkan lebih jauh lagi, melupakannya sebisa saya.

Ohya, ini bukan hal semacam kecenderungan perasaan laki-laki ke wanita, bukan hal-hal semacam itu. Lebih ke cara berkomunikasi dan berinteraksi seseorang itu, yang secara pribadi membuat saya tidak nyaman. Seseorang yang notabenenya adalah adik angkatan di jurusan saya ketika saya masih kuliah dulu. Berulang kali terjadi konflik-konflik kecil, yang awalnya saya anggap bukan hal yang perlu dibesar-besarkan, jadi biar begitu saja, dimaafkan lalu kembali biasa. Dan lucunya, yang terjadi seterusnya adalah, tiap kali saya memaafkan kesalahan-kesalahan itu, hal-hal aneh yang dilakukannya makin bermunculan, dan tebak… makin parah. Bukannya tidak pernah dibicarakan. Pernah, bahkan beberapa kali, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Yang berujung pada hal yang mencengangkan, ketika dibicarakan bukannya makin baik tapi makin membuat saya tidak mengerti dan kesal.

Sampai pada titik ini, saya mencoba meriviu ulang hal-hal ke belakang. Hingga akhirnya terjadi hal yang cukup serius, kalau kata sahabat saya, kembali orang tersebut bikin ulah. Saya terfikir satu hal, jika saya memang tidak nyaman berinteraksi (katakanlah berteman, karena bagaimanapun, kami pernah kuliah di Jurusan yang sama) sebaiknya saya memang membatasi langkah saya dari interaksi dengannya. Karena mungkin yang menjadi masalahnya adalah, karakternya yang menurut saya agak menyebalkan tidak cocok dengan saya , dan cara interaksinya yang kurang sopan, yang menjadikan saya lebih memilih menjauh. Bukan masalah kesalahan yang dia perbuat  sekali atau dua kali. Umm, bagaimana ya menjelaskannya, sulit juga ya ternyata. :mrgreen:

Sampai saat sekarang pun, saya bersikap datar tak menentu. Tak menentu karena saya mencoba bersikap biasa, walau jauh di hati saya, saya tidak bersikap natural terhadap orang ini. Saya memilih menolak memberikan alamat blog saya ini misalnya ketika sempat ditanyakan olehnya. Saya juga memilih tidak menambahkannya di list teman di salah satu akun jejaring sosial saya. Pernah ada di list dulunya, tapi dengan sangat menyesal dan saya ingat sekali, sepertinya saya menghapusnya dengan penuh keyakinan. Berkali pun permintaan add-as-friend-nya saya abaikan. Entahlah, bukannya tidak dimaafkan, tapi berulangkali saya menjelaskan tiap kali dia mendesak penjelasan, ini pilihan saya untuk menjaga kenyamanan saya, dan saya ingin pilihan saya kali ini dihargai. Atas apapun alasannya saya belum berfikir untuk merubahnya. Jika bertemu, hanya sekedarnya saja. Sekedar yang benar-benar sekedarnya. 😐

Hingga kemudian ketika “forgiven not forgotten” digadang-gadang lagi, saya hanya bisa tersenyum, walau mungkin dalam hati. Mungkin benar juga, saya sudah memaafkan semuanya, mencoba mengikhlaskan yang pernah terjadi, melapangkan hati untuk hal-hal yang pernah begitu merong-rong kenyamanan saya, tapi entah mengapa, beberapa hal masih bisa saya ingat dengan jelas. Oh well, call me whatsoever, but yes, sometimes I remember bad thing as well as the way I keep good thing inside my mind and heart. Tapi… hei, ternyata ada perubahan terbesar dan sangat saya syukuri. Rasa tertekan tiap kali nama atau kejadian yang berhubungan dengan sosok itu disebut, sudah menguap entah kemana. Mungkin waktu memang benar sangat menolong dalam banyak hal. Bahkan ketika ada secuil perasaan menyayangkan ketika salah satu adik angkatan lainnya yang begitu mengaguminya dan kemudian menaruh hati padanya dengan alasan bahwa dia aneh dan misterius, saya bisa cukup biasa untuk kemudian bilang, “Toh tiap orang memang beda-beda”.


Anda pernah dikenali tapi bukan dengan identitas diri anda sendiri? Misalnya saja dengan identitas keluarga, kelompok atau organisasi, sekolah, tahun angkatan di kampus, atau apalah yang anda adalah atau pernah menjadi bagian dari hal itu sehingga identitas non-diri-pribadi tersebut bisa melekat pada diri anda.

Misalnya saja pertanyaan sejenis ini, “Ooh… rupanya ini anaknya Pak Budi ya? Pantesan mirip. Ayah kamu itu temen kuliah saya lho, dan blablabla… Ayah kamu itu suka blablabla, kamu juga ?”   :mrgreen:

atau, “Kamu cucunya Pak Hasan ya? Saya sempat sama-sama beliau masa jaman Belanda dulu lho. Kakek kamu itu blablabla…”. Pernah? Saya pernah. :mrgreen:

Ataupun contoh yang sering terjadi seperti misalnya kita dikenali melalui asal SMU, berdasarkan tahun angkatan masuk kuliah, organisasi yang diikuti dan sebagainya. Yah… sedikit banyaknya terkadang identitas kolektif seperti ini memang punya pengaruh terhadap diri kita.

Dalam lingkup yang lebih luas misalnya, identitas kebangsaan. Secara tidak langsung dan tidak dapat terelakkan kita tentu saja akan dikait-kaitkan dengan identitas itu. Terkadang ada stereotip yang perlu dijelaskan karena keadaan sebenarnya tidaklah begitu adanya, misalnya. Ada yang terkadang cuma termakan hoax dan hal-hal kaya gini tentu perlu diluruskan. Ataupun sikap sosial mainstream yang terkadang malah bertolak belakang dengan sikap sosial pribadi kita, saya memilih untuk menjelaskannya, sejauh yang saya tahu tentunya. Saya kira hal ini penting karena terkadang kesimpulan yang diambil bisa berakhir pada imej bentukan yang salah kaprah.

Terkait dengan sikap pribadi ini, dulu saya pernah punya pengalaman lucu pada saat tour kampus ke Little World di Nagoya. Dari namanya, ini memang `dunia` yang isinya negara-negara yang ada di dunia (tentu tidak semuanya). Setelah kunjungan ke beberapa negara, tibalah saya dan beberapa teman lainnya di `Indonesia`. Kebetulan yang jadi miniatur negara Indonesia adalah Bali, lengkap dengan candi dan gapuranya yang cantik, serta gambar-gambar yang menampilkan kebudayaan dan gaya hidup sehari-hari. Bisa ditebak apa reaksi teman-teman saya? :mrgreen:

“Kok gak ada mirip-miripnya yasama kamu?” Mereka bertanya dengan polos dan keheranan. Saya faham dengan maksud mereka dan sejak awal di pintu masuk rada ada firasat bakal ditanya kaya begitu. Beruntung sekali di bagian sudut lain ‘Indonesia’ ini ada beberapa poster yang menampilkan kebudayaan beberapa provinsi di Indonesia, saya berusaha menjelaskan, bahwa setiap daerah ini punya keragaman budaya dan kekhasannya masing-masing, bahkan juga bahasa daerahnya yang berbeda di tiap daerah. Ada rasa bangga saat itu dan begitu bersyukur. Apalagi saat mereka bilang, “Hebat ya, ternyata ada banyak macam begitu…”.  Saya lega rasanya. :mrgreen:

Di lain waktu, hal lain yang sering ditanya kalau sudah ngobrol-ngobrol di asrama adalah keadaan di negara masing-masing. Kebiasaan remaja dan anak muda pada umumnya, gaya hidup, budaya belajar, pergaulan, kegiatan volunteer oleh remaja, dan hal-hal lainnya. Gara-gara ini saya jadi sering bilang, saya kurang tepat kalau dijadikan parameter bagaimana anak Indonesia pada umumnya. “Saya tidak cukup syarat untuk jadi representasi anak muda di negara saya”. Eh, rupanya statemen seperti ini akhirnya mewabah karena ternyata semuanya juga enggak PEDE merasa bahwa dirinya bukan representasi remaja dan anak muda pada umumnya di negara mereka. Siapa sangka semua pada setuju?  😆

Misalnya seorang teman dari Amerika yang disebut oleh beberapa mahasiswa dari China, bahwa dia bukan tipikal gadis Amerika pada umumnya. Gadis ini tidak suka pesta, tidak mau minum dan mabuk, rajin ke gereja, rajin banget belajarnya, sopan dan agak serius. :mrgreen: Contoh remaja Amerika yang unik kan. Atau yang dari Polandia, mahasiswi Bio-Technology ini katanya jauh dari kesan romantis cewek Eropa seumuran dia pada umumnya, disamping tegas, sering panik, pelupa dan dikabarkan kami memiliki kemiripan dalam hal terakhir itu.  :mrgreen:   Akhirnya keduanya malah ikutan bilang hal yang sama, “Kami jangan dianggap representasi dari remaja seusia kami dari negara kami, karena banyak `penyimpangan`…” 😆

Walaupun begitu, rupanya memang terlihat bahwa kita tidak bisa langsung `melepaskan diri` dari identitas kolektif yang tanpa sengaja atau tidak, melekat pada diri kita. Jelek? Tidak kok, malah menurut saya, kita memang perlu kok punya identitas kolektif disamping identitas pribadi diri kita. Disamping tentu saja ada beberapa pengecualian, seperti misalnya, jika ada sikap kolektif yang menurut kita tidak layak atau bertentangan dengan sikap pribadi kita, dan saat kita juga diasosiasikan dengan sikap yang sama, kita tentu saja boleh tidak terima dan melakukan klarifikasi. Mengenai hal ini, seseorang telah menjelaskannya dengan cukup baik disini. 🙂

Bagaimana dengan identitas kolektif yang membanggakan?

Jika kita berbicara tentang identitas kebangsaan, maka salah satu tanda pengenalnya tentu bahasa. Ada bangsa yang `diberkahi` karena bahasa nasional mereka juga dipelajari dan digunakan oleh banyak bangsa di dunia, bahkan penguasaannya pada level tertentu menjadi syarat melamar pekerjaan dan melanjutkan sekolah. You know who they are. 🙂

Lagi-lagi cerita kalau ngumpul-ngumpul saat senggang di lobi asrama. Biasanya beberapa mahasiswa mahasiswi asal China  bermain kartu, anak-anak yang lain sekedar nonton mereka main atau memilih main game, nonton, atau berdiskusi kecil tentang agama.  Sering banget diskusi seperti ini kemudian melebar, alot, panas, bahkan pernah hampir ribut. Biasa, topik sensitif. :mrgreen:

Saat-saat santai begitu, pada umumnya menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Jepang atau sesekali kami juga saling mengajarkan potongan-potongan kata dan kalimat yang mudah diingat dari bahasa masing-masing.  Terkadang jika ada lebih dari satu orang yang senegara, hampir dipastikan mereka akan menggunakan bahasa mereka sendiri. Saat momen seperti ini sedang berlangsung, teman yang dari Amerika suka protes. “Use Englishplease… In English please…” Kadang dengan ekspresi merengek atau mengusili pembicaraan atau permainan. Kadang dijawab, “Sebentar dulu, gak enak berantem atau ngeledek pake bahasa Inggris nih…”. Yang mau tidak mau mengundang gelak tawa kami. Atau kali lain, gadis ini nyeletuk, “Gak adil nih, kalian bisa ngomong sesuatu yang saya tidak paham, tapi kalian semua bisa paham apa yang saya bilang…”
Jawaban standar anak-anak yang sudah sangat populer saat itu, “Ubahlah bahasa nasionalmu, Nak… jangan bahasa Inggris”.  :mrgreen:

Saya pernah iseng tanya pada gadis itu bagaimana perasaannya saat bahasa nasionalnya dipakai oleh hampir semua bangsa di dunia, bahkan dipelajari dan dijadikan standar kurikulum pendidikan di hampir beberapa negara. Dia tersenyum lucu…”Senang dan… bangga, hehehe…”. Iya ya, tentu saja menyenangkan dan membanggakan saat identitas kolektif (dalam hal ini bahasa) kita dikenal dengan imej positif dan sekaligus dipelajari dan diikuti oleh bangsa lain. Saya kok ya penasaran bagaimana rasanya jenis perasaan `senang` dan `bangga` itu?

Suatu kali saya  diundang menghadiri acara seminar yang diadakan di Nagoya University. Temanya konon, Student Discussion on Tsunami Disaster Experiences. Salah satu agenda diskusi ini diantaranya adalah presentasi dari beberapa mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Jepang. Ada tiga orang mahasiswi dari Indonesia yang diundang melakukan presentasi, tentang bagaimana pengalaman mereka saat Tsunami dan kegiatan sebagai relawan yang mereka lakukan di masa kritis pasca tsunami saat itu. Seorang mahasiswi Master dari ITB yang menceritakan tentang pengalaman beliau saat gempa dan tsunami di Pangandaran pada 2006 lalu, dan dua mahasiswi lagi dari Unsyiah yang menjelaskan pengalaman mereka saat Tsunami di Aceh dan peran mahasiswa dalam bidang keilmuwan dan peran mereka di masyarakat sesudah musibah  itu. Dilanjutkan dengan presentasi dari pihak OGASA, suatu organisasi kemanusiaan peduli bencana di Aceh yang dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa Jepang dari Osaka University. Pihak OGASA diwakili oleh ketua dan tiga orang anggotanya.

Hal menarik yang ingin saya ceritakan kemudian adalah saat acara pembukaan diskusi ini, saat seluruh peserta dipersilahkan memperkenalkan diri. Audiens-nya adalah Bapak-Bapak mahasiswa dari Indonesia dan Malaysia yang sedang melanjutkan sekolah di sana, Para Sensei dan Researcher-staff dari Lab. Geofisika disana, mahasiwa Jepang dan para staf JICA dari Filiphina, Papua Nugini dan Costarika yang konon sebagai reviewer.

Tiba saat masing-masing memperkenalkan diri, tentu saja semua menggunakan bahasa Inggris, dan ada juga mahasiswa Indonesia yang sudah lama tinggal di sana yang menggunakan Japanese-English. Ketika giliran pihak OGASA memperkenalkan diri, dimulai dari sang ketuanya. Tebak! Ia berbicara dalam bahasa Indonesia yang lancar. Hueh… 😯
Saya terpesona beberapa saat. (halaah). Dan… bahasa Indonesia-nya sopan banget, teratur. Lalu diikuti rekan-rekannya yang lain. Keren! Ups, mungkin saya agak berlebihan, soalnya ini forum internasional gitu lho, dan mereka di awalnya dengan bangga bilang begini, ” Baiklah, saya akan memperkenalkan diri dalam bahasa Indonesia…”. Diakhir salam perkenalan mereka dihujani tepuk tangan oleh semua. 🙂 Presentasi mereka pun kadang diselingi dengan kalimat bahasa Indonesia. Setelah acara selesai, sepanjang coffee-break, berpuas-puaslah kami berbicara dalam bahasa Indonesia dengan mereka dan juga saat berkirim email. Tanya punya tanya, ternyata diantara mereka ada yang sudah tahun kedua kuliah di jurusan sastra Bahasa Indonesia di universitasnya. Pantes juga sih ya. Whatever, saat itu saya langsung disergap rasa senang dan… bangga aneh, hehehe… Mungkin perasaan jenis ini yang dimaksud teman saya dari Amerika itu ya? Besar kemungkinan iya, walaupun mungkin kadarnya tidak sama.  :mrgreen:

Ternyata begitu ya, ada saat-saat kita merasa bangga, ketika salah satu simbol dari identitas kolektif kita diikuti dan diapresiasi oleh bangsa lain dan… perasaan itu menyenangkan walau agak sulit dijelaskan.  🙂

I Decided to Write Again

Yah, finally, she’s back! I mean, I’m back! :mrgreen:

Thank God. Begitu dihitung-hitung, sadar tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja akhirnya blog ini telantar untuk waktu yang lama bahkan saya pribadi sangat faham bahwa ini sudah begitu keterlaluan. Apa mau dikata, mungkin takdirnya sudah begitu. Entri terakhir di jejakpena ini sudah sejak 24 November 2008 lalu. Berarti sudah hampir tiga tahun saya melakukan pembiaran paling kejam sejagat (agar lebih dramatik, :p ) terhadap blog yang sungguh mati saya suka ini. Ketidakmampuan saya untuk melakukan update rutin selama ini harap tidak menjadi bukti apapun untuk meragukan kesetiaan saya untuk menulis. Hanya saja… oh sudahlah, tidak perlu ada spekulasi lagi, yang penting saya sudah kembali menulis lagi. Buat saya, seperti yang saya pernah bilang, jika terlalu jago saya menuliskan begitu banyak alasan untuk menjawab semua, bukan pemakluman atau jawaban atas penasaran yang akan muncul, tapi kemungkinan sebaliknya juga ada. Kekerdilan saya sendiri. Kerdil karena mencari sejuta excuse untuk semua hal yang terjadi di belakang sana. Aduduh, semakin berasa tak nyaman hati saya membahas hal-hal seperti itu di sini.

Ini suatu hal besar yang positif yang saya syukuri. Betapa akhirnya omongan-omongan hampir separuh janji itu berhasil saya lakukan juga. Aneh juga, padahal cuma sebentar kan waktu yang saya habiskan untuk menuliskan postingan tak terlalu panjang seperti ini, misalnya. Yah, sekadar menyenangkan diri sendiri bahwa Jejakpena masih ingin menulis. Siapa sangka jika saya pernah sanggup membiarkannya hiatus hingga menahun seperti ini.

Kalau dilihat-lihat, sebenarnya saya bukan sebegitunya juga menghilang dan tidak pernah menyambangi blogosphere. Ketika saya ingin baca-baca lagi beberapa blog yang ingin saya baca, saya berkunjung kok, walaupun dengan alasan tertentu saya tidak meninggalkan jejak di sana. Tapi memang jarang-jarang juga, sih. Terkadang tak dapat dipungkiri setelah blogwalking saya jadi uring-uringan sendiri teringat blog yang terbiarkan begitu rupa. Positifnya, selalu ujung-ujungnya saya meyakinkan diri bahwa saya harus ‘mengurus’ blog ini lagi, dan seringkali selesai hanya di yakin itu. Ish, ish. Hahaha.

Begitu menulis lagi di sini, tentu saja begitu banyak hal telah terjadi. Walaupun ada rasa senang karena bisa menulis lagi di sini, ternyata ada sedih juga, haha. Teman-teman blogger banyak yang sudah pindah rumah seperti Sora, Geddhoe, saya belum sempat ngecek ke teman-teman yang lain. Ada pula yang sudah tidak se-intens dulu mengapdet blog nya, atau juga yang benar-benar sudah tidak menulis untuk waktu yang lama, mirip-mirip saya. Semoga saja suatu waktu nanti mereka kembali lagi. Banyak hal yang mempengaruhi hal ini? Tentu saja. Sepertinya trend sekarang sudah bergeser ke situs jejaring sosial? Tapi saya sedang tidak mood membahas itu di postingan pertama-hasil-perjuangan saya ini. :mrgreen:

Baiklah, baiklah, untuk sebuah tulisan baru sesudah tidur yang panjang itu, sepertinya ini sudah cukup memadai. Hihihi. Insya Allah saya akan merajin-rajinkan diri, bersemangat-semangat di kala tak semangat (apa sih), mencari-cari waktu di kala sempit serta tidak mencari alasan atas nama kesibukan seperti yang pernah saya lakukan. Karena hal yang terakhir itu lah agaknya yang menyebabkan saya secara signifikan membiarkan blog saya kadaluarsa tak terkira selama beberapa tahun ini. Tentu saja saya berharap itu hiatus terlama saya dan tak perlu saya ulang lagi demi kemaslahatan dan kebahagiaan pribadi saya. 😀

Men-Women (Again) :P

Tiga hari yang lalu, malam sebelum tidur, saya iseng memutuskan  ngerjain ujian TOEIC di PC saya, karena sorenya baru dipinjami CD software-nya oleh  temen. Lagi seru-serunya di bagian listening…eh, tiba-tiba salah satu dialognya sempat bikin saya “buyar” seketika. Maka tertawalah saya waktu itu, malah mungkin hampir tersedak (ada kata mungkin, jadi ada peluang hiperbola :p).
Lucu! Bikin ketawa, asli. Bener-bener la perempuan dan laki-laki itu. Saya letakin disini deh dialognya.

A : Is anyone planning to throw a
going-away party for Renee?

B : No, she said she didn`t want
anyone to do anything special just
because she`s leaving town.

A : Well, of course she`d say that!
That doesn`t mean we shouldn`t plan a
party anyway!

Gimana? Tanpa diberitahu pun kita pasti bisa  langsung nebak dengan benar
yang mana yang perempuan. Kan? Kan? 😆
Hmm, kalau saya yang di posisi perempuan di dialog itu, apa mungkin saya juga
akan bilang hal yang sama ya? 🙄

Tadaima…!

Ya ampun empunya blog ini, menelantarkan rumah sampe sebegininya. Sebelum yang lain, mohon dimaafkan atas ketidaknyamanan jika komentar-komentar atau sapaan dari teman-teman yang mampir disini dari kemarin itu ada yang tidak dijawab hingga lama. Forgive me, my bad. Dan saya berharap  postingan ini mewakili rasa penyesalan terdalam saya (jadi norak begitu) dan permohonan maaf sekaligus tanggapan atas itu semua. Mohon kelapangan maafnya. 😐
*bowing*

Kesibukan di dunia nyata terkadang benar-benar melelahkan dan menyita perhatian. Kadang bahkan sampai lupa untuk menghela nafas (yang ini asli berlebihan!). Jadinya kembali rumah kesayangan ini terbengkalai lagi beberapa waktu kemarin.

Sekarang saya sudah “pulang”. Mudah-mudahan semangat menulis ini tidak harus mengalah dengan rasa lelah, mood, kesehatan fisik yang belakangan sering drop, atau koneksi inetnya yang kita Tau-Sama-Tau, atau apalah itu, keterbatasan-keterbatasan lain yang ikut menyumbang peran. Insya Allah semoga tidak, karena saya ingin tetap terus menulis selagi saya masih bisa.

Jadi? Yah, akhirnya saya nulis lagi disini. Senangnyaa… Bahkan sampai ada yang sms, saya disuruh “ngurus” jejakpena ini lagi, kangen katanya. (hihihi). Thank you! I did it.  :mrgreen:

Sekalian saya pamit juga sebentar. Sampai dua minggu ke depan saya tidak ada di tempat. Ada acara diseminasi budaya siaga bencana Tsunami di Nagoya University dan field trip ke tiga daerah yang pernah terkena Tsunami di Jepang. Mudah-mudahan saya tetap bisa mengakses internet di sela-sela jadwal kegiatan yang tampak cukup padat. Saya akan berjuang untuk itu. hohoho. Tulisan tentang perjalanannya mungkin akan saya tulis nanti, Insya Allah. Semoga semua berjalan lancar dan sesuai perencanaan. Mohon doanya.  🙂

Karena Kita Memang Beda

“Laki-laki dan perempuan berpikir secara berbeda, memahami permasalahan secara berbeda, menekankan pentingnya segala sesuatu secara berbeda, dan mengalami dunia di sekelilingnya lewat saringan yang sangat berbeda.” (Why Men Never Remember and Women Never Forget,  By : Dr. Marianne J. Legato)

Entah kenapa saya selalu tertarik dan tidak bosan dengan topik satu ini. Tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam banyak hal. Bagaimana keselarasan dan saling melengkapi dalam membangun komitmen saat berhubungan secara personal, atau kekompakan dan bekerjasama dalam batasan professional, sampai ketidaknyambungan pada hal remeh temeh hingga perkara besar. Saya menyukai cara berpikir dan gaya diskusi serta pola analisis laki-laki dan juga mengagumi betapa sensitive dan intuitifnya kaum perempuan, pada kemampuan berempati mereka yang jauh di atas laki-laki, bagaimana mereka berbagi banyak hal dengan sesamanya, dan masih banyak lagi lah, jadi saya tulis dan lain-lain saja. :mrgreen:  

Dalam bukunya yang berjudul Why Men Never Remember and Women Never Forget ini, Marianne J. Legato mengungkapkan hal-hal baru yang terkadang memang sama sekali belum atau tidak kita ketahui terkait perbedaan antara laki-laki dan perempuan dan juga menegaskan apa-apa yang mungkin sering kita dengar. Jadi, untuk kesekian kalinya, memang benarlah, karena dua jenis kelamin ini berbeda, tak heran frase `I Can`t understand girls` atau “laki-laki memang susah untuk mengerti” sering diulang bahkan kadang jadislogan. Belum-belum saya akan menganjurkan anda untuk mau membacanya, minimal seperti saya, menjadikannya teman pengantar tidur, (bukankah dengan membaca kadang bisa mendatangkan kantuk? 😛 ) atau penambah koleksi bacaan anda dan anda tak akan menyesal saat mendapati buku ini ada diantara jejeran buku lainnya di lemari buku anda, karena saya akan katakan apa adanya, buku ini memang bagus, selain tentu saja kenyataan bahwa di mata saya, entah kenapa lay-out covernya nampak agak aneh, kalau tidak mau dikatakan tidak menarik, sih. :mrgreen: . Well, kali ini saya selamat dengan mengusung pepatah jadul nan bijak, don`t judge a book from its cover. Yaiyy. :mrgreen: 

Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi memahami alasan ilmiah mengenai mengapa kita begitu tidak serupa-dan strategi yang bisa kita gunakan untuk menyingkirkan pertengkaran klasik di antara kita- memampukan kita mengatasi perbedaan itu, bijak menyikapinya dan kemudian membantu kita dalam berkomunikasi dan tentu saja itu berujung pada hasil positif, meningkatnya kualitas hubungan interaksi kita baik itu hubungan personal, keluarga juga kehidupan professional.

Mungkin kita akrab dengan keluhan perempuan bahwa laki-laki tidak pernah mendengarkan dengan baik… dan keluhan laki-laki bahwa perempuan tidak berhenti berbicara. Nyah, tentu perempuan akan berhenti berbicara jika laki-laki langsung memahami ucapannya, kan? Lalu bagaimana pula dengan frasa yang sering dilontarkan oleh kaum adam –Aku bukan pembaca pikiran?
Atau pertanyaan mengapa laki-laki tidak menanyakan arah, mengapa perempuan selaluingin membicarakan hubungan? Mengapa laki-laki tidak tidak bisa melihat bahwa ada yang menganggu perempuan, dan masih banyak hal-hal senada yang kemudian dibahas di sini namun kalau dilihat lagi, pertanyaan besar yang dijawab oleh buku Legato ini adalah Mengapa begitu sulit bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengerti dan apa yang bisa kita lakukan untuk bisa lebih saling mengerti.

Tentang penulisnya sendiri, Dr. Marianne J. Legato adalah professor obat klinis di Columbia University , tempat ia mendirikan dan mengetuai Partnership for Gender-Spesific Medicine (saya juga baru tahu bahwa ada obat spesifik jender) dan terlibat dalampenelitian-penelitan yang ternyata mengungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan memproses obat secara berbeda. Dalam dekade terakhir terjadi peningkatan minat dalam mencari tahu karaktrerisitik alami dan pentingnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Ilmu pengetahuan baru mengenai obat spesifik jendermemberikan pemahaman yang luar biasa mengenai bagaimana jenis kelamin biologis kita mengubah cara kita bertingkah laku di dunia- dan bahkan cara kita mengalami penyakit. Kita begitu berbeda, sangat berbeda, dalam setiap system tubuh, dari kulit yang menyelimuti kita, sampai ke jantung sampai organ perut yang memproses makanan kita. Hal itu terutama terlihatpada otak, organ dengan berat 1,5 kg yang menaungi segala sesuatu yang menjadikan kita manusia : hasrat kita, pemahaman kita, penghargaan kita akan dunia yang diciptakan, dan seluruh kehidupan intelektual dan emosi kita.

Dr. Legato juga membantu menjelaskan perbedaan antara bagaimana laki-laki dan perempuan ini mendengarkan dan apa yang mereka dengar. Kemampuan laki-laki memproses bahasa dan memahami apa yang dikatakan kepada mereka mulai menghilang pada usia sekitar 35 tahun, sementara perempuan mempertahankan kemampuan ini sampai mereka mengalami menopause. Menguraikanmakna kata-kata lisan merupakan hal yang lebih mudah bagi perempuan. Pada mereka, kedua sisi otaknya terlibat dalam penguraian makna, sementara pada laki-laki, hanya sisi kiri yang terlibat dalam penguraiannya. Dan ada lebih banyak lagi perbedaan antara dua jenis kelamin ini.

Banyak komunikasi bergantung pada apa yang tidak diucapkan, yaitu ekspresi wajah dan ungkapan nonverbal lainnya. Perempuan mampu memahamirentang ekspresi wajah yang lebih beragamdengan tepat dibandingkan laki-laki, dan hal ini memberi mereka (mereka?? Hehehe ) keuntungan berempati. Perempuan juga mempunyai memori yang lebih baik atas kata-kata lisan, yang berartimereka cenderungmengingatperdebatan yang secara bijak telah lama dilupakan oleh laki-laki. (oh well) 

Namun akan salah untuk berpikir bahwa ada yang namanya otak maskulin atau otak feminine. Otak merupakan rangkaian kesatuan dengan bagian besar yang saling melengkapi di tengah-tengahnya, hal yang untungnya bisa membuat kita menjadi baik perempuan yang analitis maupun laki-laki yang sensitif. ^^ 

Entah orang lain, tapi saya yang membacanya bisa mengatakan, membaca buku ini anda seperti mendapatkan pengetahuan tentang apa yang selama ini sering membuat kita kesal dan penasaran bahkan lebih! Ya, ada hal-hal yang bisa kita pelajari satu sama lain, laki-laki dan perempuan , bisa dengan bijak menyikapi satu sama lain saat berinteraksi, menawarkan yang terbaik kepada satu sama lain dan dengan begitu dapat meningkatkan kualitas komunikasi kita, dalam hubungan personal dan professional, baik itu kehidupan intelektual maupun emosi kita. 🙂

Itu salah satu judul film yang sudah saya tonton lebih dari dua kali. Awal nontonnya sudah lumayan lama tapi berhubung baru sempat nulis lagi disini, akhirnya yah baru sekarang jadi post. 😦

Di Flightplan ini, kembali Jodie disandingkan dengan anak-anak. Figuran bocah berusia 6 tahun yang mengingatkan saya pada A Little Man Tate, atau Anna and The King versi baru saat ia beradu akting dengan Chow Yun Fat. Oh ya, bedanya di Flightplan ini anak perempuan.Ini termasuk film yang saya sukai karena masuk kriteria: Ada yang tinggal usai kita menontonnya.

Adegan awal menampakkan Pratt (Jodie Foster) yang menunggu kereta api untuk pulang dan sesaat diacak dengan alur maju-mundur, bergantian dengan kilasan-kilasan saat ia menunggui jenazah suaminya di kamar mayat rumah sakit. Serasa kemudian ia pulang bersama suaminya ke apartemen mereka hingga kemudian ia tersadar dari ketidakrelaannya bahwa suaminya telah mati.

Seminggu kemudian Pratt yang tinggal di Berlin ini berencana terbang pulang ke rumah orang tuanya di New York, bersama anak perempuannya yang berusia 6 tahun, Julia (Marlene Lawston) sekaligus membawa serta jenazah suaminya tersebut. Hingga kemudian setelah check-in bersama anaknya, dan ia sempat tertidur beberapa jam kemudian di pesawat, saat terbangun Jodie tidak mendapati Julia di seat-nya.

Ternyata seluruh awak pesawat dan juga salah seorang penumpang yang ternyata adalah polisi udara menjelaskan bahwa Pratt hanya sendiri, tidak seperti yang diyakininya bahwa ia bersama Julia. Aneh.

Buat saya, tiap potongan adegan dalam flightplan ini dirancang cukup alot dan memicu adrenalin dan tidak tertebak! Penonton dibiarkan menebak-nebak sendiri kebenaran yang sesungguhnya terjadi hingga kemudian satu persatu fakta mulai disuguhkan kepermukaan. Karakter Pratt yang nampak terguncang dengan kematian suaminya tampil dengan baik, terluka namun berusaha tegar.

Sehabis menyelesaikan film ini saya tercerahkan, ternyata bertahan dengan keyakinan diri sendiri di saat tidak seorang pun mempercayai kita, memang benar-benar tak terbayangkan. Semuanya kemudian bergantung pada usaha kita satu-satunya yang berkeras bahwa sesuatu yang kita yakini itu benar adanya. Untuk karakter seperti Miss Pratt yang begitu “kuat” dan sebelumnya bekerja sebagai engineer, namun naluri keibuannya begitu kentara dan alami, benar-benar bikin saya jatuh hati. Perwatakan yang bagus!

Karakter lain yang menarik perhatian saya malah bukan polisi udara, Carson (Peter Sarsgaard)-sama sekali bukan pengaruh protagonist-antagonis- tapi ke Pilot pesawatnya, Captain Rich (Sean Bean). Entah aja,langsung berkesan dari pertama lihat. :mrgreen:   Rasanya kok puas banget ya saat menyaksikan tampang merasa-begitu-berdosa Kapten Rich ini di bagian akhirnya. 😆

Anyway, tontonan yang bagus. Recommended. 😀