Agak aneh juga ketika menyadari bahwa sekarang ini ada dalam stage seperti ini. Kecewa…? Entahlah. Tapi terpikir lagi, bahwa bukankah sejak awal pun saya bergabung dalam komunitas itu memang karena nilai-nilai yang saya akui baik dan saya merasakannya bahkan saat saya masih berdiri di luar sana, lalu saya membuktikannya sendiri. Ya, karena nilai-nilai itu yang kemudian pun saya pegang dan membuat saya nyaman hingga sekarang. Bukan karena orang seorang, atau materi atau entah apa yang lainnya.
Maka, saat kemudian bermunculan banyak hal yang tidak memuaskan, orang-orang yang mulai tidak konsisten, atau ada yang malah menyelewengkan nilai-nilai itu sedemikian rupa, saya tidak (atau belum) menjadikannya sebagai alasan untuk pergi. Toh saya datang bukan karena mereka. Dan itu pilihan saya secara sadar.
Maka (lagi), jika harus ada kecewa itu, dan ternyata tidak sekecil yang saya bayangkan, mungkin itu juga tidak lepas dari kesalahan saya pribadi, (ini salah satu penyakit saya) saya terlalu berekspektasi tinggi pada mereka. Karenanya, supaya berimbang harusnya saya juga siap untuk kecewa. Kemudian, saat memang nyata kecewa, kekecewaan itu bukan lantas menjadi excuse untuk memutuskan diri. Walau kita bisa mandiri dan independen, pada hakikatnya, kita tidak pernah bisa benar-benar sendiri. Kita tahu itu. Karena terkadang kita perlu diingatkan agar konsisten, dan untuk hal itu, tentu saja tidak selalunya kita bisa mengandalkan diri sendiri. Mungkin itu juga alasan tambahan mengapa saya tidak beranjak. Hingga kemudian, saya menemukan satu-satunya kenyamanan, membuat saya tenang, karena pada akhirnya saya sadar, pada satu titik akhir nanti, sejak dari dulu pun hingga sekarang ini, segala sesuatu memang hanya akan tinggal antara saya dan Allah saja. Tidak lebih, tidak kurang.
Terpikir juga, mungkin saya perlu untuk mendiskusikan hal ini secara konkrit dan jelas. Karena di satu sisi kita bisa mengatakan sebodo amat dengan persangkaan orang lain, namun di sisi lain, disalahpahami bukanlah kondisi yang menyenangkan, dan membiarkannya sama saja seperti menanam bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu, yang korbannya bisa saja tak hanya kita seorang, bisa lebih dari itu.
…
…
…
Maka, (lagi-lagi) jika ada yang bertanya, “dengan keadaan yang tidak memuaskan seperti sekarang, kenapa tidak pergi saja?”, mudah-mudahan mereka bisa (paling tidak) untuk mencoba memahami sesuatu sekalipun sesuatu itu mungkin tidak (atau belum) bisa mereka terima.
Maybe there’s always a reason to stay… itu ada benarnya juga.Yah, maybe. 🙂
Yeah. Maybe. 😉
Yup, yup. Expectation kills… so be careful on wielding it. 🙄
BTW, ini pertamax ya. ^^
Saat ini aku juga mengalami hal yang sama. Dan aku memilih untuk meninggalkan-nya…Bukan, bukan karena aku tidak loyal, bahkan ke-loyal-an-ku lebih dari apa yang bisa di-tawar-kan oleh yang lain-nya. Tapi aku memilih ini karena:
“I just protecting my ass before someone kicking my ass”
*maaf kalau analogi-nya agak sedikit kasar* 😉
Ngomong-ngomong, inilah susahnya satu golongan sama sekelompok orang bodoh bin bahlul… karena dikit-dikit kita diasosiasikan sama mereka. Makanya ketika orang-orang
bahlulitu bersikap irasional, secara logis orang akan bertanya: “ngapain kamu masih bareng2 mereka?” 😆Padahal belum tentu tingkah mereka itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Kalau kata dosen saya sih,
*mudah2an nyambung*
*ini post kok obscure banget sih? Saya baru paham maksudnya habis dua kali baca…* 😛
Dan alangkah bagusnya jika dengan tidak pergi maka dapat merubah keadaan itu menjadi memuaskan.
sedang kenapa dirimu Hiruta?
jika seandainya sesuatu yang tidak memuaskan itu adalah sesuatu hal yang sangat prinsipil, memilih untuk tetap terus loyal rasanya bukan pilihan.
ganbare!!
walah
*speechless*
😆
Kecewa mungkin langkah awal untuk sebuah perubahan, kearah perbaikan semoga 😀
maaf sok tau
jangan sampai jadi loyalitas buta. Karena itu akan membuat kita kecewa sendiri akhirnya.
yang normal aja ah… loyal iya ga loyal jga iya
😆
soal loyalitas ya? hhhm…kadang hal ini yang bikin saya sulit untuk mempercayai orang lain… 😐
saya sering berusaha untuk loyal, sayangnya mereka-mereka tersebut tidak berusaha untuk loyal. loyalitas itu sulit!
@ sora9n
You’re right. Thanks. 🙂
Iya deh iya…
@ extremusmilitis
I can understand. Everyone has their own choice. 🙂
gapapa kok.
@ sora9n
Ehehe, saya gak mikir itu udah dalam stage kayak gitu sih…
Un, nyambung lho. 😀
Bukannya lebih bagus kayak begitu? Saya anggap beberapa orang tertentu akan paham arah postingan ini kemana.
Eh? Yakin cuma dibaca dua kali? Gak lebih? *ditimpuk*
@ danalingga
Siapalah saya ini, Mas. Tapi yah… kita lihat saja… *halaah gayaa!!*
@ Iya
Sedang kecewa… hehe.
Mmm, maksudnya itu tetap loyal sama nilai-nilai kebaikannya kok, walaupun orang-orangnya mulai ‘aneh-aneh’.
Kapan-kapan kita sharing deh… 🙂
Un, ganbaru! 😀
@ danasatriya
Walah jugaa… 😛
@goop
Aaaamin. Thanks ya. 🙂
@ itikkecil
Iya mbak, mudah-mudahan gak sampai begitu. 🙂
@ almascatie
Almas ngasal!! *timpuk Almas pake perahu*
😆
@ cK
Yah, sesulit untuk mendapatkan kepercayaan juga, terkadang. ^^
Setuju! 😎
Tapi untuk kali ini, I will still stay… maybe… 🙄
Berarti saya bukan orang sembarangan dong, karena bisa memahami isi post ini. Jangan-jangan kita memang sehati, nih. 😆
*dilempar pisau*
Setuju sama Mbak Ira… Jangan jadi loyalitas buta… *pura-pura paham permasalahannya…* 😀
loyalitas???? apa emang perlu???
@ sora9n
Begitu ya… *manggut-manggut*
(Ah, baiknya memang dilempar pisau aja sih…)
😆
@ suandana
Saya loyal sama nilai-nilai positifnya Mas, maksudnya. Jadi mudah-mudahan bukan loyalitas buta… 😀
@ 3l3ctron
Pada keadaan tertentu itu perlu, IMO…
Maybe one day you will understand, bro 🙂
iya mungkin suatu hari loyalitas akan diperlukan, ketiak tak ada yang bisa dipercayai lagi, ketika tak ada lagi yang bisa di jadikan sandaran, dan ketika persahabatan telah hilang dan usang.
*kabur…..*